Antara Logika, Rasa, dan Kehidupan
Pendahuluan
Di tengah derasnya arus pengetahuan, manusia sering kali terdorong untuk menjadikan logika, rumus, kamus, dan dogma sebagai pusat segalanya.
Seolah-olah kehidupan bisa dirangkum dalam persamaan matematis atau definisi kamus yang kaku.
Namun, apakah benar demikian?
Jangan terlalu mendewakan logika, sebab hidup bukan hanya tentang ketepatan berpikir, melainkan juga tentang kedalaman merasakan.
Logika dan Keterbatasannya
Logika memang tajam dan berguna. Ia memberi kerangka untuk memahami dunia secara sistematis.
Tetapi ketika logika dipuja tanpa batas, ia berubah menjadi pedang bermata dua: memotong keraguan sekaligus melukai ruang imajinasi.
Logika mampu membongkar struktur argumen, namun ia sering gagal memahami paradoks, ironi, atau keindahan sederhana yang tak dapat diurai dengan rumus.
Rumus, Kamus, dan Dogma
Rumus matematika menawarkan kepastian, tetapi hidup bukan sekadar bilangan.
Kamus menyusun arti kata, namun ia tak sanggup menangkap makna dari sebuah diam atau tatapan.
Dogma memberi arah, namun ketika terlalu kaku, ia menjelma pagar yang membatasi langkah manusia dalam mencari kebijaksanaan.
Ketika ketiganya diperlakukan sebagai “dewa kecil” kehidupan, manusia terjebak pada kepastian semu dan kehilangan ruang untuk bertanya.
Menemukan Ruang di Antara
Kehidupan sejatinya menuntut keseimbangan.
Logika dibutuhkan, tetapi ia harus berdampingan dengan rasa.
Rumus membantu, namun ia tak boleh menyingkirkan absurditas yang justru memberi warna.
Kamus berguna, tetapi hening juga punya bahasanya sendiri.
Dogma memberi arah, tetapi kebebasanlah yang membuat arah itu bermakna.
Maka, manusia perlu keberanian untuk berjalan di antara kepastian dan ketidakpastian, antara terang dan gelap, antara benar dan ragu.
Penutup
Hidup bukanlah soal mendewakan logika semata,
melainkan tentang menari di atas panggung ketidakpastian dengan penuh kesadaran.
Kebijaksanaan tidak lahir dari satu sumber, melainkan dari pertemuan antara nalar, rasa, pengalaman, dan iman yang terus bertumbuh.
Dan di sanalah, manusia benar-benar menjadi manusia.