Dunia yang Tak Nyata
Hari ini kepalaku kembali penuh.
Bukan penuh oleh jawaban, tapi oleh pertanyaan yang saling berkejaran.
Ada rahasia yang menolak untuk lahir lewat kata,
seolah kata hanyalah pintu sempit bagi isi semesta dalam diriku.
Aku hidup di dunia yang katanya sempurna,
namun kesempurnaan ini terasa seperti topeng yang retak di balik senyum.
Aku berkeliaran sebagai makhluk yang hilang arah,
menjadi bayangan yang mencari cahaya tapi selalu jatuh pada gelap yang sama.
Kemustahilan sering datang seperti raja yang berkuasa,
mendudukkan diri di singgasana hatiku.
Ia berbisik bahwa aku takkan pernah cukup,
bahwa pencarian ini hanyalah lingkaran tanpa pusat.
Dunia yang kutahu adalah apa yang kulihat,
namun mata hanyalah jendela, bukan kebenaran.
Apakah mungkin mencari jati diri dengan kaca yang selalu memantulkan ilusi?
Bagaimana mereka bisa bertahan, sementara aku masih tercekat di antara nyata dan maya?
Kadang aku merasa dunia ini hanyalah sandiwara,
dan aku aktor yang lupa naskahnya.
Hatiku mencoba membaca ulang skenario yang tak pernah kuterima,
dan setiap halaman yang kubuka hanya selembar kertas kosong.
Jawaban tak juga datang.
Mungkin karena aku terlalu sibuk mencari di luar,
padahal sebagian jawabannya mungkin sudah bersemayam di dalam—
di tempat yang bahkan tak berani kutengok.